PERNIKAHAN: Menikah Bukan Untuk Menjadi Sama

Saya mengajarkan bahwa menikah untuk menjadi satu dan bukan menjadi sama, persatuan bukan persamaan, kesatuan bukan kesamaan.

Saya setuju bahwa kita harus mencari pasangan ‘yang sepadan’ atau seimbang, dalam arti yang sebanyak mungkin persamaannya, baik secara pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, latar belakang keluarga bahkan agama atau kerohanian Namun walaupun kita sudah memilih yang banyak persamaannya, maka setelah menikah dengan segera, banyak orang menyadari bahwa mereka menemukan banyak ‘perbedaan’ seperti diatas.

Orang akan frustasi jika menikah dan menargetkan untuk menjadi sama. Bukan untuk menjadi sama tetapi untuk menjadi satu, untuk apa menjadi satu? Untuk saling melengkapi. Dan untuk itu terima apa adanya pasanganmu, sikapnya, sifatnya, temperamennya, karakternya. Dengan mulai menerimanya bahkan sering terjadi perubahan ke arah perbaikkan. Kita tidak bisa merubah pasangan dengan mencela, menuntut, mengomelinya. Dengan saling menuntut perubahan, maka yang menuntut capek, yang dituntutpun frustasi.

Penerimaan itu perlu, bahkan salah satu kebutuhan dasar seorang manusia. Penerimaan membuat seseorang merasa bahagia, dan sering dari sikap hati bahagia justru muncul perbuatan-perbuatan yang simpatik.

Saya juga sempat kecewa, sempat menyesal, bahkan rasa-rasanya saya terlalu buru-buru mengambil keputusan untuk menikah. Saya juga sempat frustasi, kok kami berbeda, ini tidak seperti banyangan saya tentang pernikahan, bahwa kami akan selalu bersama-sama, bekerja bersama, kegiatan sosial bersama, berpergian bersama dan melakukan segala sesuatu bersama sama.

Namun saya menjumpai banyak perbedaan diantara kami, salah satu saja misalnya, saya suka bepergian dan saya ingin istri saya selalu ikut saya, tetapi hal itu tidak terjadi. Saya sempat berpikir apakah saya telah menikahai orang yang salah? Namun setelah saya renung-renungkan, dan mulai berpikir positif tentang SALING MELENGKAPI, maka ada benarnya juga, jika kami berdua senang bepergian, sudah pasti anak anak kami bukanlah para juara kelas seperti saat ini, karena anak anak sekarang beban tugas sekolah, pr, ulangan dan tugas tugas lainnya benar benar memerlukan perhatian dari orang tua, dan istri saya adalah seorang ibu yang baik buat anak anak.

Perbedaan lainnya, saya orang yang mudah kasihan, suka menolong, dan mudah sekali mengeluarkan uang, berapapun yang ada di dompet atau tabungan saya dengan cepat disalurkan, ada saja yang saya anggap perlu untuk ditolong. Saya punya keinginan yang sangat kuat untuk memberi. Tidak demikian dengan istri saya. Hal ini bisa menimbulkan konflik diantara kami, sampai akhirnya saya mulai berpikir positif, benar juga ya bahwa kami ‘dijodohkan’ untuk saling ‘melengkapi’ karena kalau kami berdua sama, sudah pasti akan segera ‘bangkrut’. Jadi justru istri Tuhan berikan untuk menutupi apa yang kurang atau apa yang berlebihan sehingga menjadi ‘balance’ atau imbang.

Lalu saya mulai belajar untuk menerima, dan yang cukup efektif untuk menerimanya adalah mulai melihat sisi baiknya, melihat perbedaan itu sebagai kelengkapan, sebagai ‘tulang rusuk’ kita yang ‘hilang’ dan bahkan mulai mengucapkan syukur untuk pasangan kita, untuk kebiasaannya, untuk sikap-sikapnya. Ketika saya mulai berdoa dan mengucapkan ucapkan syukur tentang pasangan saya, banyak hal yang mulai berubah. Terima dan mengucap syukurlah. Mulai ucapkan kata-kata ucapan syukur.


Suami istri disatukan dalam pernikahan bukan untuk menjadi sama, tetapi untuk menjadi satu sehingga saling melengkapi.


EmoticonEmoticon